Selasa, 27 Januari 2015

OPINI ISLAM
http://janoko.jw.lt/gambar/religi/5.jpg
Sinetron Religi Yang Tak Religius
Oleh: Dewi Hariyati
Penulis adalah Pengajar di SMK Al-Asy’ari Keras Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)

--------------------------------------------
Sudah saatnya kita menkaji kembali keberadaan tayangan-tayangan yang ‘berbau’ religi di televisi. Hal ini terkait dengan pemahaman satu kaidah yang saat ini masih banyak perbedaannya. Dan bahkan tayangan-tayangan itu sudah menjurus pada pemahaman aqidah yang bebas (liberal).
---------------------------------------------
Masih ingat dalam ingatan kita, dalam sebuah dialog disebuah stasiun televisi swasta beberapa bulan lalu, yang menghadirkan Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat, M.Sc -yang lebih dikenal dengan Kang Jalal- ia melontarkan kritikan terhadap dakwah dengan media elektronika (sinetron religi). Saat itu, ia menyatakan bahwa dakwah melalui sinetron religi saat ini lebih didominasi aspek komersial.
Memang, pernyataan itu jika diresapi bukan hanya kritikan sematan, lebih jauh merupakan ‘rambu-rambu’ pada pelaku itu sendiri. Lebih jelasnya pernyataan itu sangat debatable, terutama bagi pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penayangannya.
Seperti yang beberapa waktu lalu di tayangkan di sebuah televisi swasta, yang menyindir persoalan poligami. Bahkan tidak tanggung-tanggung, untuk menarik pemirsanya, mereka ‘menyamakan’ dandanannya dengan KH Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym). Karena fenomena Aa’ Gym mereka anggap sebagai hal yang aneh dan nyleneh. Padahal, masih banyak persoalan sosial yang layak diangkat dalam layar televisi. Lagi-lagi poligami, lagi-lagi poligami yang dijadikan ‘bemper’ untuk disalahkan.
Padahal sudah jelas aturan poligami, tapi kenapa pelarangan prostitusi dibiarkan merajalela? Jarang yang mengangkat kasus korupsi, atau kedurhakaan anak pada orang tua dan akibatnya. Jarang juga ada sinetron yang mengangkat kesalihah anak yang berbakti pada orang tuanya.
Tampaknya fenomena sebagaimana seperti dilontarkan Kang Jalal itu sepertinya sulit untuk ditolak, karena memang seperti itu adanya saat ini. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba untuk menayangkan sinetron religi, namun saat ini Sebagian besar tidak terlepas dari aspek komersial daripada keinginan membangun masyarakat yang religius. Bukan tidak mungkin, yang terbangun bukan masyarakat religius, tapi terbangun masyarakat yang liberal, dan bahkan menjauhkan dari akidah.
Salah satu contoh, jika dulu, awal sinetron religi ditayangkan, pemain memakai pakaian ‘brukut’ (baca: muslimah) bagi wanita. Saat ini, apakah itu menyesuaikan cerita atau untuk mengikuti perkembangan jaman, mereka tampil lebih terbuka. Dari sini terlihat, komersialisasi sinetron sangat jelas terlihat.
Seperti tayangan sinetron Hikayah di Trans TV, Selasa (27/02/2007) jam 19.00 WIB dengan judul Putri Kerak Telur Yang Lupa Diri. Dalam tayangan itu, bagaimana seorang siswa berciuman dengan pacarnya yang satu sekolahan di kantin sekolah. Dan juga bagaimana perlakuan pemeran cowok yang membelai dagu si cewek di ruang kelas. Itu bukan merupakan tuntunan dalam agama Islam. Ini bukan merupakan tayangan tuntunan, tidak lebih hanya sebagai tontonan yang tak jauh berbeda dengan sinetron remaja lainnya. Seharusnya sang sutradara bisa memilah, mana yang layak menjadi tuntuna dan mana yang hanya untuk tontonan semata. Dengan tayangan itu, tentu akan berakibat fatal bagi remaja. Apalagi dalam cerita itu juga diceritakan bagaimana sesama teman harus menjadi “sindikat” penjualan (trafficking) temannya sendiri.
Selain itu pakaian mereka yang cenderung untuk membuka auratnya. Hal ini bisa jadi sinetron itu memiliki maksud-maksud tertentu, salah satunya ‘penghancuran’ secara berlahan terhadap agama Islam. Dan masih banyak lagi tayangan sejenis yang tidak menghiraukan rambu-rambu agama.
Apabila hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti peradaban Islam agan mengalami kemerosotan nilai-nilai moral yang selama ini menjunjung harkat dan martabat sosok wanita. Dari pengamatan kami, penulis menilai, bahwa tontonan itu tidak layak jadi tuntunan.
Berbeda dengan jika kita lihat metode dakwah Rasulullah SAW, diperlukan uswah (contoh), dan secara konsisten (istiqamah) dari orang yang menyerunya agar masyarakat bisa meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan contoh itulah, membuat dakwah Nabi berhasil dan mampu merubah masyarakat jahiliah menjadi religius dan bermoral.
Permasalahannya kemudian, dapatkah jika contoh yang konsisten itu tidak ditemukan, apakah pesan-pesan moral yang disampaikan bisa efektif untuk perubahan masyarakat.
Suksesnya sinetron religi saat ini merupakan tantangan bagi para pendakwah, sekaligus menggiurkan bagi mereka yang ingin meraup materi dan popularitas. Tapi, karena dunia pertelevisian tidak lepas dari komersialisasi, maka pelaksanaan dakwah pun sulit dilepaskan dari komuditas itu. Alhasil, mereka pun berlomba-lomba membuat inovasi agar dapat membuat sinetron semenarik mungkin untuk saling berebut pemirsa.
Akibatnya, di masyarakat pun timbul penilian, apakah pendakwah itu seorang penyebar agama atau artis yang bertutur tentang agama. Fatalnya, dakwah akhirnya tidak terkait dengan apa yang didakwahkan, tetapi siapa yang mendakwahkan.
Dengan mengemas komoditi dakwah, ternyata sangat dasyat efek yang ditimbulkannya. Bahkan dalam sebuah penelitian, rating sangat bagus untuk penayangan sinetron ini. Hal ini juga akan berimbas pada pemasang iklan (comercialbreak).
Sebagaimana penayangan dunia makhluk halus, tayangan sinetron religi juga merupakan peluang yang menjanjikan di Indonesia. Hal itu terjadi, sebagai akibat meningkatnya tekanan hidup di sebagian besar masyarakat. Dan mereka (baca: masyarakat yang sedang ‘sakit’) memerlukan penyegaran pikiran dan rohani, salah satunya dengan mengikuti setiap episode tayangan religi itu.
Gejala itu ternyata ditangkap oleh produser yang memproduksi sinetron tersebut. Namun, Akibatnya yang timbul sebaliknya, terjadilan eksploitasi terhadap sejumlah ajaran agama yang lebih bermuara kepada mistikasi agama dibandingkan memberikan pencerahan.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah kehidupan sosok artis sinetron. Kenapa artis sinetron? Merekalah yang saat ini malah menjadi panutan, bukan sang kyai atau ustadz. Kekhawatiran itu timbul, pasalnya, jika di sinetron mereka tampil sopan dan bersahaja. Tapi mampukah mereka menjaga kala di luar main sinetron. Mungkin ada beberapa yang mampu, lalu jika yang tidak mampu, lalu tampil di depan publik dengan dandanan yang tidak sesuai dengan yang diperankan, bisa jadi yang awalnya dakwah mendapat cibiran.
Untuk itu, proses desakralisasi agama itu adalah hilangan asas dalam dakwah itu, yaitu di mana setiap orang yang menyerukan agama haruslah menjadi contoh bagi masyarakat yang diserunya agar nilai-nilai yang disampaikan bisa tertanam dalam hati mereka. Berkaitan dengan hal itu, maka relevanlah ungkapan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari diri kita sendiri baru kemudian mengajak orang lain.
Artinya, dalam peran dan kenyataan hidup sehari-hari, sering terjadi perbedaan yang sangat jelas pada diri seorang artis. Yakni, dengan contoh di senetron itu, orang-orang yang melihat bisa meyakini apa yang diserukan sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi, tidak demikian dengan kehidupan yang hanya diburu untuk melaksanakan ‘kewajiban’, dengan kata lain hanya tuntutan peran.
Akibatnya, sang pemeran dengan tanpa ada beban moral terhadap apa yang diperankan kembali ke prilaku semula. Yang awalnya dalam peran tampil sebagai orang saleh dan salehah dengan berpakaian islami, namun dalam keseharian berprilaku sebaliknya. Itu bisa bisa terjadi karena yang dilakukan hanya sekedar memenuhi kewajiban peran tanpa diikuti kewajiban lain.
Bahkan juga tidak jarang dalam membuat cerita sinetron terlalu dibesar-besarkan, hanya untuk menarik pemirsa. Sehingga secara tidak sengaja, kadang ceritanya malah sebaliknya menjerumuskan. Namun demikian, terlepas dari itu semua, mungkin ini bisa dijadikan ‘tonggak’ berkibarnya kembali ‘bendera’ ketauhidan.

0 komentar:

Posting Komentar