OPINI ISLAM
Sinetron Religi Yang Tak Religius
Oleh: Dewi Hariyati
Penulis adalah Pengajar di SMK Al-Asy’ari Keras Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)
--------------------------------------------
Sudah
saatnya kita menkaji kembali keberadaan tayangan-tayangan yang ‘berbau’
religi di televisi. Hal ini terkait dengan pemahaman satu kaidah yang
saat ini masih banyak perbedaannya. Dan bahkan tayangan-tayangan itu
sudah menjurus pada pemahaman aqidah yang bebas (liberal).
---------------------------------------------
Masih
ingat dalam ingatan kita, dalam sebuah dialog disebuah stasiun televisi
swasta beberapa bulan lalu, yang menghadirkan Prof. Dr. Jalaluddin
Rahmat, M.Sc
-yang lebih dikenal dengan Kang Jalal- ia melontarkan kritikan terhadap
dakwah dengan media elektronika (sinetron religi). Saat itu, ia
menyatakan bahwa dakwah melalui sinetron religi saat ini lebih
didominasi aspek komersial.
Memang,
pernyataan itu jika diresapi bukan hanya kritikan sematan, lebih jauh
merupakan ‘rambu-rambu’ pada pelaku itu sendiri. Lebih jelasnya
pernyataan itu sangat debatable, terutama bagi pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penayangannya.
Seperti
yang beberapa waktu lalu di tayangkan di sebuah televisi swasta, yang
menyindir persoalan poligami. Bahkan tidak tanggung-tanggung, untuk
menarik pemirsanya, mereka ‘menyamakan’ dandanannya dengan KH Abdullah
Gymnastiar (Aa’ Gym). Karena fenomena Aa’ Gym mereka anggap sebagai hal
yang aneh dan nyleneh. Padahal, masih banyak persoalan sosial yang layak
diangkat dalam layar televisi. Lagi-lagi poligami, lagi-lagi poligami
yang dijadikan ‘bemper’ untuk disalahkan.
Padahal
sudah jelas aturan poligami, tapi kenapa pelarangan prostitusi
dibiarkan merajalela? Jarang yang mengangkat kasus korupsi, atau
kedurhakaan anak pada orang tua dan akibatnya. Jarang juga ada sinetron
yang mengangkat kesalihah anak yang berbakti pada orang tuanya.
Tampaknya
fenomena sebagaimana seperti dilontarkan Kang Jalal itu sepertinya
sulit untuk ditolak, karena memang seperti itu adanya saat ini. Hampir
semua stasiun televisi berlomba-lomba untuk menayangkan sinetron religi,
namun saat ini Sebagian besar tidak terlepas dari aspek komersial
daripada keinginan membangun masyarakat yang religius. Bukan tidak
mungkin, yang terbangun bukan masyarakat religius, tapi terbangun
masyarakat yang liberal, dan bahkan menjauhkan dari akidah.
Salah
satu contoh, jika dulu, awal sinetron religi ditayangkan, pemain
memakai pakaian ‘brukut’ (baca: muslimah) bagi wanita. Saat ini, apakah
itu menyesuaikan cerita atau untuk mengikuti perkembangan jaman, mereka
tampil lebih terbuka. Dari sini terlihat, komersialisasi sinetron sangat
jelas terlihat.
Seperti tayangan
sinetron Hikayah di Trans TV, Selasa (27/02/2007) jam 19.00 WIB dengan
judul Putri Kerak Telur Yang Lupa Diri. Dalam tayangan itu, bagaimana
seorang siswa berciuman dengan pacarnya yang satu sekolahan di kantin
sekolah. Dan juga bagaimana perlakuan pemeran cowok yang membelai dagu
si cewek di ruang kelas. Itu bukan merupakan tuntunan dalam agama Islam.
Ini bukan merupakan tayangan tuntunan, tidak lebih hanya sebagai
tontonan yang tak jauh berbeda dengan sinetron remaja lainnya.
Seharusnya sang sutradara bisa memilah, mana yang layak menjadi tuntuna
dan mana yang hanya untuk tontonan semata. Dengan tayangan itu, tentu
akan berakibat fatal bagi remaja. Apalagi dalam cerita itu juga
diceritakan bagaimana sesama teman harus menjadi “sindikat” penjualan (trafficking) temannya sendiri.
Selain
itu pakaian mereka yang cenderung untuk membuka auratnya. Hal ini bisa
jadi sinetron itu memiliki maksud-maksud tertentu, salah satunya
‘penghancuran’ secara berlahan terhadap agama Islam. Dan masih banyak
lagi tayangan sejenis yang tidak menghiraukan rambu-rambu agama.
Apabila
hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti peradaban Islam
agan mengalami kemerosotan nilai-nilai moral yang selama ini menjunjung
harkat dan martabat sosok wanita. Dari pengamatan kami, penulis
menilai, bahwa tontonan itu tidak layak jadi tuntunan.
Berbeda dengan jika kita lihat metode dakwah Rasulullah SAW, diperlukan uswah (contoh),
dan secara konsisten (istiqamah) dari orang yang menyerunya agar
masyarakat bisa meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan contoh itulah, membuat dakwah Nabi berhasil dan mampu merubah
masyarakat jahiliah menjadi religius dan bermoral.
Permasalahannya
kemudian, dapatkah jika contoh yang konsisten itu tidak ditemukan,
apakah pesan-pesan moral yang disampaikan bisa efektif untuk perubahan
masyarakat.
Suksesnya sinetron
religi saat ini merupakan tantangan bagi para pendakwah, sekaligus
menggiurkan bagi mereka yang ingin meraup materi dan popularitas. Tapi,
karena dunia pertelevisian tidak lepas dari komersialisasi, maka
pelaksanaan dakwah pun sulit dilepaskan dari komuditas itu. Alhasil,
mereka pun berlomba-lomba membuat inovasi agar dapat membuat sinetron
semenarik mungkin untuk saling berebut pemirsa.
Akibatnya,
di masyarakat pun timbul penilian, apakah pendakwah itu seorang
penyebar agama atau artis yang bertutur tentang agama. Fatalnya, dakwah
akhirnya tidak terkait dengan apa yang didakwahkan, tetapi siapa yang
mendakwahkan.
Dengan mengemas
komoditi dakwah, ternyata sangat dasyat efek yang ditimbulkannya. Bahkan
dalam sebuah penelitian, rating sangat bagus untuk penayangan sinetron
ini. Hal ini juga akan berimbas pada pemasang iklan (comercialbreak).
Sebagaimana
penayangan dunia makhluk halus, tayangan sinetron religi juga merupakan
peluang yang menjanjikan di Indonesia. Hal itu terjadi, sebagai akibat
meningkatnya tekanan hidup di sebagian besar masyarakat. Dan mereka
(baca: masyarakat yang sedang ‘sakit’) memerlukan penyegaran pikiran dan
rohani, salah satunya dengan mengikuti setiap episode tayangan religi
itu.
Gejala itu ternyata ditangkap
oleh produser yang memproduksi sinetron tersebut. Namun, Akibatnya yang
timbul sebaliknya, terjadilan eksploitasi terhadap sejumlah ajaran agama
yang lebih bermuara kepada mistikasi agama dibandingkan memberikan
pencerahan.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah kehidupan sosok artis sinetron. Kenapa artis sinetron? Merekalah yang saat ini malah
menjadi panutan, bukan sang kyai atau ustadz. Kekhawatiran itu timbul,
pasalnya, jika di sinetron mereka tampil sopan dan bersahaja. Tapi
mampukah mereka menjaga kala di luar main sinetron. Mungkin ada beberapa
yang mampu, lalu jika yang tidak mampu, lalu tampil di depan publik
dengan dandanan yang tidak sesuai dengan yang diperankan, bisa jadi yang
awalnya dakwah mendapat cibiran.
Untuk
itu, proses desakralisasi agama itu adalah hilangan asas dalam dakwah
itu, yaitu di mana setiap orang yang menyerukan agama haruslah menjadi
contoh bagi masyarakat yang diserunya agar nilai-nilai yang disampaikan
bisa tertanam dalam hati mereka. Berkaitan dengan hal itu, maka
relevanlah ungkapan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari diri kita
sendiri baru kemudian mengajak orang lain.
Artinya,
dalam peran dan kenyataan hidup sehari-hari, sering terjadi perbedaan
yang sangat jelas pada diri seorang artis. Yakni, dengan contoh di
senetron itu, orang-orang yang melihat bisa meyakini apa yang diserukan
sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi, tidak demikian dengan kehidupan
yang hanya diburu untuk melaksanakan ‘kewajiban’, dengan kata lain hanya
tuntutan peran.
Akibatnya, sang
pemeran dengan tanpa ada beban moral terhadap apa yang diperankan
kembali ke prilaku semula. Yang awalnya dalam peran tampil sebagai orang
saleh dan salehah dengan berpakaian islami, namun dalam keseharian
berprilaku sebaliknya. Itu bisa bisa terjadi karena yang dilakukan hanya
sekedar memenuhi kewajiban peran tanpa diikuti kewajiban lain.
Bahkan
juga tidak jarang dalam membuat cerita sinetron terlalu
dibesar-besarkan, hanya untuk menarik pemirsa. Sehingga secara tidak
sengaja, kadang ceritanya malah sebaliknya menjerumuskan. Namun
demikian, terlepas dari itu semua, mungkin ini bisa dijadikan ‘tonggak’
berkibarnya kembali ‘bendera’ ketauhidan.
0 komentar:
Posting Komentar