Selasa, 27 Januari 2015

OPINI ISLAM
http://janoko.jw.lt/gambar/religi/5.jpg
Sinetron Religi Yang Tak Religius
Oleh: Dewi Hariyati
Penulis adalah Pengajar di SMK Al-Asy’ari Keras Diwek Jombang dan tergabung dalam Komunitas Penulis Jombang (KPJ)

--------------------------------------------
Sudah saatnya kita menkaji kembali keberadaan tayangan-tayangan yang ‘berbau’ religi di televisi. Hal ini terkait dengan pemahaman satu kaidah yang saat ini masih banyak perbedaannya. Dan bahkan tayangan-tayangan itu sudah menjurus pada pemahaman aqidah yang bebas (liberal).
---------------------------------------------
Masih ingat dalam ingatan kita, dalam sebuah dialog disebuah stasiun televisi swasta beberapa bulan lalu, yang menghadirkan Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat, M.Sc -yang lebih dikenal dengan Kang Jalal- ia melontarkan kritikan terhadap dakwah dengan media elektronika (sinetron religi). Saat itu, ia menyatakan bahwa dakwah melalui sinetron religi saat ini lebih didominasi aspek komersial.
Memang, pernyataan itu jika diresapi bukan hanya kritikan sematan, lebih jauh merupakan ‘rambu-rambu’ pada pelaku itu sendiri. Lebih jelasnya pernyataan itu sangat debatable, terutama bagi pelaku yang terlibat dalam pembuatan dan penayangannya.
Seperti yang beberapa waktu lalu di tayangkan di sebuah televisi swasta, yang menyindir persoalan poligami. Bahkan tidak tanggung-tanggung, untuk menarik pemirsanya, mereka ‘menyamakan’ dandanannya dengan KH Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym). Karena fenomena Aa’ Gym mereka anggap sebagai hal yang aneh dan nyleneh. Padahal, masih banyak persoalan sosial yang layak diangkat dalam layar televisi. Lagi-lagi poligami, lagi-lagi poligami yang dijadikan ‘bemper’ untuk disalahkan.
Padahal sudah jelas aturan poligami, tapi kenapa pelarangan prostitusi dibiarkan merajalela? Jarang yang mengangkat kasus korupsi, atau kedurhakaan anak pada orang tua dan akibatnya. Jarang juga ada sinetron yang mengangkat kesalihah anak yang berbakti pada orang tuanya.
Tampaknya fenomena sebagaimana seperti dilontarkan Kang Jalal itu sepertinya sulit untuk ditolak, karena memang seperti itu adanya saat ini. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba untuk menayangkan sinetron religi, namun saat ini Sebagian besar tidak terlepas dari aspek komersial daripada keinginan membangun masyarakat yang religius. Bukan tidak mungkin, yang terbangun bukan masyarakat religius, tapi terbangun masyarakat yang liberal, dan bahkan menjauhkan dari akidah.
Salah satu contoh, jika dulu, awal sinetron religi ditayangkan, pemain memakai pakaian ‘brukut’ (baca: muslimah) bagi wanita. Saat ini, apakah itu menyesuaikan cerita atau untuk mengikuti perkembangan jaman, mereka tampil lebih terbuka. Dari sini terlihat, komersialisasi sinetron sangat jelas terlihat.
Seperti tayangan sinetron Hikayah di Trans TV, Selasa (27/02/2007) jam 19.00 WIB dengan judul Putri Kerak Telur Yang Lupa Diri. Dalam tayangan itu, bagaimana seorang siswa berciuman dengan pacarnya yang satu sekolahan di kantin sekolah. Dan juga bagaimana perlakuan pemeran cowok yang membelai dagu si cewek di ruang kelas. Itu bukan merupakan tuntunan dalam agama Islam. Ini bukan merupakan tayangan tuntunan, tidak lebih hanya sebagai tontonan yang tak jauh berbeda dengan sinetron remaja lainnya. Seharusnya sang sutradara bisa memilah, mana yang layak menjadi tuntuna dan mana yang hanya untuk tontonan semata. Dengan tayangan itu, tentu akan berakibat fatal bagi remaja. Apalagi dalam cerita itu juga diceritakan bagaimana sesama teman harus menjadi “sindikat” penjualan (trafficking) temannya sendiri.
Selain itu pakaian mereka yang cenderung untuk membuka auratnya. Hal ini bisa jadi sinetron itu memiliki maksud-maksud tertentu, salah satunya ‘penghancuran’ secara berlahan terhadap agama Islam. Dan masih banyak lagi tayangan sejenis yang tidak menghiraukan rambu-rambu agama.
Apabila hal itu dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti peradaban Islam agan mengalami kemerosotan nilai-nilai moral yang selama ini menjunjung harkat dan martabat sosok wanita. Dari pengamatan kami, penulis menilai, bahwa tontonan itu tidak layak jadi tuntunan.
Berbeda dengan jika kita lihat metode dakwah Rasulullah SAW, diperlukan uswah (contoh), dan secara konsisten (istiqamah) dari orang yang menyerunya agar masyarakat bisa meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan contoh itulah, membuat dakwah Nabi berhasil dan mampu merubah masyarakat jahiliah menjadi religius dan bermoral.
Permasalahannya kemudian, dapatkah jika contoh yang konsisten itu tidak ditemukan, apakah pesan-pesan moral yang disampaikan bisa efektif untuk perubahan masyarakat.
Suksesnya sinetron religi saat ini merupakan tantangan bagi para pendakwah, sekaligus menggiurkan bagi mereka yang ingin meraup materi dan popularitas. Tapi, karena dunia pertelevisian tidak lepas dari komersialisasi, maka pelaksanaan dakwah pun sulit dilepaskan dari komuditas itu. Alhasil, mereka pun berlomba-lomba membuat inovasi agar dapat membuat sinetron semenarik mungkin untuk saling berebut pemirsa.
Akibatnya, di masyarakat pun timbul penilian, apakah pendakwah itu seorang penyebar agama atau artis yang bertutur tentang agama. Fatalnya, dakwah akhirnya tidak terkait dengan apa yang didakwahkan, tetapi siapa yang mendakwahkan.
Dengan mengemas komoditi dakwah, ternyata sangat dasyat efek yang ditimbulkannya. Bahkan dalam sebuah penelitian, rating sangat bagus untuk penayangan sinetron ini. Hal ini juga akan berimbas pada pemasang iklan (comercialbreak).
Sebagaimana penayangan dunia makhluk halus, tayangan sinetron religi juga merupakan peluang yang menjanjikan di Indonesia. Hal itu terjadi, sebagai akibat meningkatnya tekanan hidup di sebagian besar masyarakat. Dan mereka (baca: masyarakat yang sedang ‘sakit’) memerlukan penyegaran pikiran dan rohani, salah satunya dengan mengikuti setiap episode tayangan religi itu.
Gejala itu ternyata ditangkap oleh produser yang memproduksi sinetron tersebut. Namun, Akibatnya yang timbul sebaliknya, terjadilan eksploitasi terhadap sejumlah ajaran agama yang lebih bermuara kepada mistikasi agama dibandingkan memberikan pencerahan.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah kehidupan sosok artis sinetron. Kenapa artis sinetron? Merekalah yang saat ini malah menjadi panutan, bukan sang kyai atau ustadz. Kekhawatiran itu timbul, pasalnya, jika di sinetron mereka tampil sopan dan bersahaja. Tapi mampukah mereka menjaga kala di luar main sinetron. Mungkin ada beberapa yang mampu, lalu jika yang tidak mampu, lalu tampil di depan publik dengan dandanan yang tidak sesuai dengan yang diperankan, bisa jadi yang awalnya dakwah mendapat cibiran.
Untuk itu, proses desakralisasi agama itu adalah hilangan asas dalam dakwah itu, yaitu di mana setiap orang yang menyerukan agama haruslah menjadi contoh bagi masyarakat yang diserunya agar nilai-nilai yang disampaikan bisa tertanam dalam hati mereka. Berkaitan dengan hal itu, maka relevanlah ungkapan bahwa segala sesuatu harus dimulai dari diri kita sendiri baru kemudian mengajak orang lain.
Artinya, dalam peran dan kenyataan hidup sehari-hari, sering terjadi perbedaan yang sangat jelas pada diri seorang artis. Yakni, dengan contoh di senetron itu, orang-orang yang melihat bisa meyakini apa yang diserukan sebagai sebuah kebenaran. Akan tetapi, tidak demikian dengan kehidupan yang hanya diburu untuk melaksanakan ‘kewajiban’, dengan kata lain hanya tuntutan peran.
Akibatnya, sang pemeran dengan tanpa ada beban moral terhadap apa yang diperankan kembali ke prilaku semula. Yang awalnya dalam peran tampil sebagai orang saleh dan salehah dengan berpakaian islami, namun dalam keseharian berprilaku sebaliknya. Itu bisa bisa terjadi karena yang dilakukan hanya sekedar memenuhi kewajiban peran tanpa diikuti kewajiban lain.
Bahkan juga tidak jarang dalam membuat cerita sinetron terlalu dibesar-besarkan, hanya untuk menarik pemirsa. Sehingga secara tidak sengaja, kadang ceritanya malah sebaliknya menjerumuskan. Namun demikian, terlepas dari itu semua, mungkin ini bisa dijadikan ‘tonggak’ berkibarnya kembali ‘bendera’ ketauhidan.

Permasalahan sosial merupakan sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas kehidupan bermasyarakat. Dalam mengidentifikasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat berbeda-beda antara tokoh satu dengan lainnya. Berikut beberapa definisi masalah sosial yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu:
1. Menurut Soerjono Soekanto, masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.
2. Menurut Soetomo masalah sosial adalah sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakat.
3. Menurut Lesli, masalah sosial sebagai suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan karena perlunya untuk diatasi atau diperbaiki.
4. Menurut Martin S. Weinberg, masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut.
Faktor Penyebab Permasalahan Sosial
Pada dasarnya, permasalahan sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan masalah sosial terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri dan akibat dari hubungan dengan manusia lainnya. Suatu gejala dapat disebut sebagai permasalahan sosial dapat diukur melalui:
1. Tidak adanya kesesuaian antara nilai sosial dengan tindakan sosial.
2. Sumber dari permasalahan sosial merupakan akibat dari suatu gejala sosial di masyarakat.
3. Adanya pihak yang menetapkan suatu gejala sosial tergantung dari karakteristik masyarakatnya.
4. Perasalahan sosial yang nyata (manifest social problem) dan masalah sosial tersembunyi (latent social problem).
5. Perhatian masyarakat dan masalah sosial.
6. Sistem nilai dan perbaikan suatu permasalahan sosial.
Permasalahan sosial yang ada di masyarakat sangat beragam. Masalah yang dihadapi oleh seseorang belum tentu dapat disebut sebagai masalah sosial. Oleh karena itu, Raab dan Selznick mengemukakan permasalahan sosial yang ada di masyarakat dapat terjadi apabila:
1. Terjadi hubungan antarwarga masyarakat yang menghambat pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.
2. Organisasi sosial tidak dapat mengatur hubungan antar warga dalam menghadapi ancaman dari luar.
Adanya berbagai fenomena di lingkungan masyarakat dapat menimbulkan permasalahan sosial. Namun, tidak semua fenomena di masyarakat dapat disebut sebagai permasalahan sosial. Berikut beberapa contoh masalah sosial yang ada di masyarakat, antara lain:
1. Kemiskinan
Kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Tingkat kemiskinan di masyarakat dapat diukur melalui berbagai pendekatan, yaitu:
a. Secara absolut, artinya kemiskinan tersebut dapat diukur dengan standar tertentu. Seseorang yang memiliki taraf hidup di bawah standar, maka dapat disebut miskin. Namun, jika seseorang yang berada di atas standar dapat dikatakan tidak miskin.
b. Secara relatif, digunakan dalam masyarakat yang sudah mengalami perkembangan dan terbuka. Melalui konsep ini, kemiskinan dilihat dari seberapa jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah yang dibandingkan dengan lapisan masyarakat lainnya.
Selain itu, kemiskinan juga dapat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang melatarbelakangi adanya sumber masalah kemiskinan, yaitu:
a. Faktor Biologis, Psikologis, dan Kultural
Kondisi individu yang memiliki kelemahan biologis, psikologis, dan kultural dapat dilihat dari munculnya sifat pemalas, kemampuan intelektual dan pengetahuan yang rendah, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan, dan rendahnya kemampuan untuk menanggapi persoalan di sekitarnya.
b. Faktor Struktural
Kemiskinan struktural biasanya terjadi dalam masyarakat yang terdapat perbedaan antara orang yang hidup di bawah garis kehidupan dengan orang yang hidup dalam kemewahan. Ciri-ciri masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, yaitu:
1) Tidak adanya mobilitas sosial vertikal.
2) Munculnya ketergantungan yang kuat dari pihak orang miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya.
2. Kriminalitas
Kriminalitas berasal dari kata crime yang artinya kejahatan. Kriminalitas adalah semua perilaku warga masyarakat yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana. Kriminalitas yang terjadi di lingkungan masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari dalam maupun luar individu.  Tindakan kriminalitas yang ada di masyarakat sangat beragam bentuknya, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Tindakan kriminalitas yang terjadi di masyarakat harus menjadi perhatian aparat polisi dan masyarakat sekitar. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya masalah kriminalitas di lingkungan masyarakat, antara lain:
a. Peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum.
b. Adanya koordinasi antara aparatur penegak hukum dengan aparatur pemerintah lainnya yang saling berhubungan.
c. Adanya partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran pelaksanaan penanggulangan kriminalitas.
d. Membuat undang-undang, yang dapat mengatur dan membendung adanya tindakan kejahatan.
3. Kesenjangan Sosial Ekonomi
Kesenjangan sosial ekondmi merupakan perbedaan jarak antara kelompok atas dengan kelompok bawah. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat, antara lain:
a. Menurunnya pendapatan per kapita.
b. Ketidakmerataan pembangunan di daerah-daerah.
c. Rendahnya mobilitas sosial.
d. Adanya pencemaran lingkungan alam.
Kesenjangan sosial ekonomi dapat menimbulkan masalah di masyarakat, seperti munculnya tindakan kriminal, adanya kecemburuan sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam masyarakat perlu adanya upaya untuk mengatasi kesenjangan sosial tersebut. Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi, antara lain;
a. Memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
b. Menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin.
c. Adanya pemerataan pembangunan di daerah-daerah.
Dampak Masalah Sosial di Masyarakat
Dalam lingkungan masyarakat pasti terdapat berbagai macam permasalahan sosial. Contoh masalah sosial di masyarakat, seperti kenakalan remaja, masalah kependudukan, masalah pencemaran lingkungan, maupun masalah sosial lainnya. Adanya berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat dapat membawa dampak bagi masyarakat itu sendiri. Dampak yang muncul juga sangat beragam, baik dampak positif maupun negatif. Adapun dampak dari adanya permasalahan sosial di masyarakat, antara lain:
1. Meningkatnya tingkat kriminalitas.
2. Adanya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin.
3. Adanya perpecahan kelompok.
4. Munculnya perilaku menyimpang.
5. Meningkatkan pengangguran
Referensi:
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE – UI.
Richard Osborne & Borin Van Loon. 1996. Mengenal Sosiologi For Beginner. Bandung: Mizan.
https://akhiru.files.wordpress.com/2012/07/kumpulan-ilmu-pengetahuan.jpeg



Mengapa langit berwarna biru?  

Atmosfir bumi mengandung molekul gas kecil dan partikel (butiran) debu. Sinar matahari yang memasuki atmosfir tersebut bertemu dengan molekul gas dan partikel debu tadi. Warna sinar yang memiliki gelombang sinar lebih panjang seperti merah dan kuning, dapat melewati dan menembus molekul gas dan debu tadi. Tetapi warna biru yang memiliki gelombang sinar lebih pendek dipantulkan kembali ke atas atmosfir. Itulah mengapa langit terlihat berwarna biru. Prinsip yang sama berlaku juga dengan air di laut atau danau yang terlihat berwarna biru.

Bagaimana pelangi terbentuk?  


Pelangi terbentuk karena pembiasan sinar matahari oleh tetesan air yang ada di atmosfir. Ketika sinar matahari melalui tetesan air, cahaya tersebut dibengkokkan sedemikian rupa sehingga membuat warna-warna yang ada pada cahaya tersebut terpisah. Tiap warna dibelokkan pada sudut yang berbeda, dan warna merah adalah warna yang paling terakhir dibengkokkan, sedangkan ungu adalah yang paling pertama. Fenomena ini yang kita lihat sebagai pelangi.

Gelas termasuk benda padat, tetapi mengapa gelas terlihat bening?  


Molekul dari benda padat biasanya saling mengikat dengan rapat, karena itu umumnya sinar tidak dapat menembus benda padat. Pada cairan dan gas, molekul-molekul bergerak bebas dan memiliki banyak ruang kosong diantara molekulnya. Itulah sebabnya sinar dengan mudah menembus material seperti gas dan air. Gelas dibuat dengan cara melebur pasir dan mendinginkannya kembali. Bahan yang terbentuk akhirnya menjadi padat dan kaku, tetapi masih memiliki molekul yang bebas bergerak seperti sifat molekul pada cairan, sehingga ruang kosong diantara molekul gelas tersebut bisa dilewati oleh cahaya, walaupun gelas adalah benda padat.


Mengapa Kita Mengantuk Sesudah Makan Siang?  
 

Jam-jam setelah makan siang, biasanya adalah masa-masa yang paling susah dilewati. Walaupun malam sebelumnya kita sudah cukup tidur, tetap saja kita merasa mengantuk. Ada dua hal yang menyebabkan kita merasa ingin tidur siang

1. L-Tryptophan
L-Tryptophan adalah asam amino yang menjadi bahan dasar terbentuknya niacin, vitamin B. Niacin sendiri akan dipakai untuk membuat serotonin, zat penghantar sinyal di otak yang dapat menimbulkan perasaan nyaman dan menyebabkan kita jatuh tertidur.

Makanan yang kaya karbohidrat seperti nasi, akan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin, yang akan menyimpan makanan dalam tubuh. Beberapa asam amino lain yang tadinya terkandung di dalam darah bersama-sama dengan L-Tryptophan, akan masuk ke dalam sel otot. Akibatnya, akan terjadi peningkatan pada konsentrasi relatif L-Tryptophan dalam darah dan serotonin yang terbentuk membuat kita mengantuk.

2. Proses pencernaan makanan
Tubuh akan mengirimkan darah ke sistem pencernaan karena proses pencernaan membutuhkan energi yang cukup besar, apalagi kalau makanan yang perlu dicerna mengandung banyak lemak. Energi yang diperlukan juga akan semakin bertambah besar seiring dengan semakin banyaknya makanan yang kita konsumsi. Pada saat ini, sistem saraf juga menyumbangkan sebagian stok darahnya dan sebagai akibatnya, sistem saraf akan mengalami kekurangan oksigen untuk sementara. Menurunnya efektivitas kerja saraf pada saat sistem pencernaan bekerja inilah yang juga membuat kita ingin tidur siang.

Mengapa pesawat terbang yang jauh diatas terlihat lambat bergerak  ?
 

Ketika kita melihat sesuatu yang bergerak, yang patut kita sadari adalah perubahan sudut pandang dari mata kita terhadap obyek yang bergerak tersebut. Obyek yang berada dekat sekali dengan kita, walaupun bergerak tidak terlalu cepat, akan membuat kita memutarkan kepala hanya untuk melihat kemana obyek itu sekarang berada.
Ketika kamu melihat sesuatu obyek yang bergerak di kejauhan, perubahan sudut pandang yang terjadi tidak sebesar apabila obyek itu ada di dekat kita sehingga kita merasa bahwa obyek tersebut bergerak lambat, seperti pada pesawat yang sedang terbang jauh di atas kita.
Contoh lainnya adalah bulan. Bulan bergerak mengelilingi bumi dengan kecepatan rata-rata 1.022 Km/jam, tetapi karena jarak antara kita dengan bulan yang jauh, bulan kelihatan tidak bergerak sama sekali, karena kita hampir tidak merasakan perubahan sudut pandang.

Apa Itu E-mail?  
 

E-mail merupakan singkatan dari Elektronic Mail yang berarti surat menyurat dalam Internet. E-mail banyak digunakan karena alasan mudah dikirim dan cepat sampai tujuan. E-mail tidak memerlukan kertas atau perangko, melainkan cukup mengetik melalui keyboard dan dalam hitungan detik setelah dikirim, surat akan sampai tujuan meskipun jarak penerima mencapai ribuan kilometer, tanpa batasan ruang dan waktu.

E-mail merupakan salah satu fasilitas dari Internet yang paling sering digunakan dan paling populer. Setidaknya setiap orang yang mengakses Internet, mereka pasti tidak lupa memeriksa kotak masuk (inbox) dalam e-mailnya, karena hanya inilah sarana pengiriman surat yang paling murah di dunia.

Mengapa Tubuh Kita Gemetar pada Saat Cuaca Dingin?  
 

Tubuh manusia tidak dapat mengtoleransi suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi. Seseorang yang berada di luar ruangan dengan temperatur udara di bawah minus 29oC tanpa mengenakan pakaian yang cukup tebal akan beku dan berakhir pada kematian karena tubuhnya kehilangan panas. Temperatur tubuh normal adalah 37oC, dan ketika temperatur udara lebih rendah dari temperatur tubuh, panas akan mengalir dari tubuh kita. Pada temperatur udara sedang (berkisar antara 15-20oC), tubuh kita tidak terlalu bermasalah, bahkan sesungguhnya temperatur udara sedang sangat dibutuhkan karena tubuh kita memproduksi panas berlebih dari yang kita butuhkan dan harus dilepas sebagian. Suatu kondisi di mana temperatur udara sangat rendah sehingga tubuh melepas terlalu banyak panas sehingga temperatur tubuh turun disebut dengan hypothermia. Penurunan panas tubuh badan antara 1oC hingga 2oC mengakibatkan tubuh gemetar, yang merupakan salah satu usaha tubuh kita untuk menaikkan temperatur tubuh melalui gerakan dari sendi-sendi otot. Penurunan yang lebih drastis lagi mengakibatkan kehilangan kesadaran dan bahkan kematian.

Kebalikan dari kondisi di atas disebut dengan hiperthermia. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya udara di luar maupun faktor dari dalam tubuh kita sendiri yaitu ketika seseorang menderita demam.

Jamu Tradisional Indonesia dan Manfaatnya

http://www.healtherbal.com/wp-content/uploads/2015/01/herbs.jpg

Bagi masyarakat Indonesia, racikan jamu tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya. Jika awalnya jamu tradisional hanya dijadikan sebagai ramuan obat, kini jamu tradisional banyak digunakan untuk meningkatkan stamina, melangsingkan dan menjadi minuman sehari-hari yang bermanfaat bagi tubuh maupun kecantikan.

Jamu merupakan obat yang bahan bakunya berasal dari tumbuhan, baik yang berupa buah, bunga, daun, tangkai, akar, maupun kulit. Diperkirakan terdapat 150 jenis tumbuhan yang sudah sering digunakan sebagai bahan baku jamu.
Minuman tradisional ini disukai masyarakat dari kalangan bawah hingga masyarakat kelas menengah ke atas. Para konsumen pun memiliki alasan tersendiri hingga akhirnya mereka memilih jamu tradisional sebagai minuman favoritnya, salah satunya karena selain rasanya yang lezat, minuman tersebut memberikan banyak manfaat bagi kesehatan para konsumen. Bahkan minuman tradisional ini aman dikonsumsi anak-anak, remaja, orang tua hingga lanjut usia.
Apa saja jamu yang banyak disukai masyarakat dan apa saja manfaatnya, simak yang berikut :

Beras kencur
Sesuai namanya, jamu ini terbuat dari bahan utama yiatu beras dan kencur. Manfaatnya selain menyegarkan, kandungan yang ada di dalamnya memiliki senyawa yang bermanfaat, seperti minyak atsiri, zat ini berfungsi sebagai zat analgesic, yaitu zat yang memiliki kemampuan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri, menghilangkan capek, pegal-pegal, batuk, radang lambung, sariawan, keracunan makanan, perut kembung. Tak hanya itu saja, beras kencur juga bermanfaat untuk menambah tenaga karena memiliki sifat stimultan.

Kunyit asem
Jamu kunyit asem bahannya terdiri dari rimpang kunyit atau kunir dan asam jawa matang yang direbus dengan takaran yang seimbang. Biasanya diberi rasa manis dengan campuran gula Jawa atau gula batu. Khasiatnya selain sebagai minuman penyegar, juga dipercaya mampu meringankan nyeri haid serta nyeri perut lainnya. Bagi kebanyakan wanita, kunyit asem dimanfaatkan sebagai jamu pelangsing. Jamu ini diyakini dapat menghaluskan kulit serta membuat wangi tubuh menjadi segar. Namun yang perlu diperhatikan adalah, wanita hamil dilarang sering mengkonsumsi minuman ini, karena berbahaya bagi perkembangan bayi dalam kandungan.

Kunci suruh (daun sirih)
Bahan baku jamu ini sesuai dengan namanya, yaitu rimpang kunci dan daun sirih. Biasanya selalu ditambahkan buah asam yang masak.Jamu kunci suruh dimanfaatkan oleh wanita, terutama ibu-ibu untuk mengobati keluhan keputihan (fluor albus). Sedangkan manfaat lain yaitu untuk merapatkan bagian intim wanita (vagina), menghilangkan bau badan, mengecilkan rahim dan perut, serta dikatakan dapat menguatkan gigi.

Temulawak
Jamu jenis ini baik diminum oleh penderita penyakit hati (hepatitis) karena memiliki efek hepatoprotektor, yaitu efek untuk mencegah penyakit hati. Temulawak juga bisa dimanfaatkan untuk menurunkan kolesterol maupun menghilangkan pegal linu pada tubuh.

Sambiloto
Biasa disebut sebagai jamu pahitan. Seperti namanya, jamu ini terbuat dari daun sambiloto. Khasiat jamu yang rasanya sangat pahit ini adalah dapat mengatasi kencing manis, membersihkan darah kotor yang bisa menyebabkan penyakit kulit (gatal-gatal atau jerawat). Selain itu sambiloto juga mampu menurunkan kolesterol dan menghilangkan bau badan.

Sinom
Jamu yang satu ini murni menggunakan bahan daun sinom (daun asam Jawa). Biasanya jamu ini berbahan kunyit asam dan ditambahkan daun sinom. Khasiatnya sama seperti jamu kunyit asam, yaitu bisa menyegarkan badan, mengindari sariawan dan panas dalam.
Cabe puyeng
Jamu ini biasanya disebut juga sebagai jamu pegal linu, karena khasiatnya yang paling umum adalah untuk mengatasi rasa pegal linu pada tubuh. Khasiat lain adalah mengatasi kesemutan dan menyembuhkan demam.

Gepyokan
Gepyokan berasalah dari istilah Jawa (digepyok atau dipukul-pukulkan). Jamu ini terbuat dari berbagai jenis bahan yang digepyokan atau dipukul-pukul hingga hancur dan menjadi satu. bahan-bahannya bisa terdiri dari kunyit, kencur, temulawak, lengkuas dan jahe.

Sumber: http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=38142

Selasa, 20 Januari 2015










1. Niat ( Keyakinan ).


Harus diyakini bahwa setiap siswa adalah pintar dan memiliki kemampuan.


2. Menjalin Rasa Simpati dan Saling Pengertian.


Membina hubungan yang akrab dapat memudahkan guru untuk melibatkan siswa dalam setiap kegiatan belajar mengajar, memudahkan pengelolaan kelas dan meningkatkan kegembiraan di kedua belah pihak.3


3. Membangun Kegembiraan.

Kegembiraan akan membuat siswa belajar dengan lebih mudah, mengusir rasa bosan, bahkan dapat mengubah sikap negative siswa terhadap guru maupun mata pelajaran yang kurang disukai.


4. Membangun Rasa Saling Memiliki.


Guru harus mampu membangun rasa saling memiliki dan tidak memenuhi proses belajar mengajar dengan ancaman sehingga siswa dapat merasa dekat dengan guru dan bisa rileks dalam menerima materi.


5. Keteladanan.

Memberi keteladanan adalah salah satu cara ampuh untuk membangun hubungan serta menambah kekuatan pada proses pembelajaran siswa. Satu hal yang perlu diingat oleh guru bahwa pakaian, penampilan, senyuman akan dinilai oleh siswa.

Jumat, 09 Januari 2015


Arsenal
Arsenal FC.svg
Full name Arsenal Football Club
Nickname(s) The Gunners
Founded 1886; 129 years ago as Dial Square
Ground Emirates Stadium,
Holloway, London
 Capacity 60,338
Owner Arsenal Holdings plc
Chairman Sir Chips Keswick
Manager Arsène Wenger
League Premier League
2013–14 Premier League, 4th
Website Club home page

Current season


Para Pemain Arsenal di Tahun 2014-2015
3. Gibbs
11. Ozil
12. Giroud
13. Ospina
16. Ramsey
22. Sanogo
24. Diaby
27. Gnabry

 HISTORY
Arsenal Football Club was formed as Dial Square in 1886 by workers at the Royal Arsenal in Woolwich, south-east London, and was renamed Royal Arsenal shortly afterwards. The club was renamed again to Woolwich Arsenal after becoming a limited company in 1893.[8] The club became the first southern member of the Football League in 1893, starting out in the Second Division, and won promotion to the First Division in 1904. The club's relative geographic isolation resulted in lower attendances than those of other clubs, which led to the club becoming mired in financial problems and effectively bankrupt by 1910, when they was taken over by businessmen Henry Norris and William Hall. Norris sought to move the club elsewhere, and in 1913, soon after relegation back to the Second Division, Arsenal moved to the new Arsenal Stadium in Highbury, North London; they dropped "Woolwich" from their name the following year. Arsenal only finished in fifth place in the second division during the last pre-war competitive season of 1914–15, but was nevertheless elected to rejoin the First Division when competitive football resumed in 1919–20, at the expense of local rivals Tottenham Hotspur. Some books have reported that this election to division 1 was achieved by dubious means.
Arsenal appointed Herbert Chapman as manager in 1925. Having already won the league twice with Huddersfield Town in 1923–24 and 1924–25 (see Seasons in English football), Chapman brought Arsenal their first period of major success. His revolutionary tactics and training, along with the signings of star players such as Alex James and Cliff Bastin, laid the foundations of the club's domination of English football in the 1930s.[12] Under his guidance Arsenal won their first major trophies – victory in the 1930 FA Cup Final preceded two League Championships, in 1930–31 and 1932–33. In addition, Chapman was behind the 1932 renaming of the local London Underground station from "Gillespie Road" to "Arsenal", making it the only Tube station to be named specifically after a football club.
Chapman died suddenly of pneumonia in early 1934, leaving Joe Shaw and George Allison to carry on his successful work. Under their guidance, Arsenal won three more titles, in 1933–34, 1934–35 and 1937–38, and the 1936 FA Cup while also becoming known as the "Bank of England club." As key players retired, Arsenal had started to fade by the decade's end, and then the intervention of the Second World War meant competitive professional football in England was suspended.
After the war, Arsenal enjoyed a second period of success under Allison's successor Tom Whittaker, winning the league in 1947–48 and 1952–53, and the FA Cup in 1950. Their fortunes waned thereafter; unable to attract players of the same calibre as they had in the 1930s, the club spent most of the 1950s and 1960s in trophyless mediocrity. Even former England captain Billy Wright could not bring the club any success as manager, in a stint between 1962 and 1966.
Arsenal began winning silverware again with the surprise appointment of club physiotherapist Bertie Mee as manager in 1966. After losing two League Cup finals, they won their first European trophy, the 1969–70 Inter-Cities Fairs Cup. This was followed by an even greater triumph: their first League and FA Cup double in 1970–71.[19] This marked a premature high point of the decade; the Double-winning side was soon broken up and the following decade was characterised by a series of near misses, starting with Arsenal finishing as FA Cup runners up in 1972, and First Division runners-up in 1972–73.
Terry Neill was recruited by the Arsenal board to replace Bertie Mee on 9 July 1976 and at the age of 34 he became the youngest Arsenal manager to date. With new signings like Malcolm Macdonald and Pat Jennings, and a crop of talent in the side such as Liam Brady and Frank Stapleton, the club enjoyed their best form since the 1971 double, reaching a trio of FA Cup finals (1978, 1979 and 1980), and losing the 1980 European Cup Winners' Cup Final on penalties. The club's only success during this time was a last-minute 3–2 victory over Manchester United in the 1979 FA Cup Final, widely regarded as a classic.
The return of former player George Graham as manager in 1986 brought a third period of glory. Arsenal won the League Cup in 1987, Graham's first season in charge. This was followed by a League title win in 1988–89, won with a last-minute goal in the final game of the season against fellow title challengers Liverpool. Graham's Arsenal won another title in 1990–91, losing only one match, won the FA Cup and League Cup double in 1993, and a second European trophy, the European Cup Winners' Cup, in 1994. Graham's reputation was tarnished when he was found to have taken kickbacks from agent Rune Hauge for signing certain players, and he was dismissed in 1995. His replacement, Bruce Rioch, lasted for only one season, leaving the club after a dispute with the board of directors.

A group of people on a red open-topped bus wave to a crowd of onlookers.

Arsenal's players and fans celebrate their 2004 League title win with an open-top bus parade.
The club's success in the late 1990s and first decade of the 21st century owed a great deal to the 1996 appointment of Arsène Wenger as manager. Wenger brought new tactics, a new training regime and several foreign players who complemented the existing English talent. Arsenal won a second League and Cup double in 1997–98 and a third in 2001–02. In addition, the club reached the final of the 1999–2000 UEFA Cup (losing on penalties to Galatasaray), was victorious in the 2003 and 2005 FA Cups, and won the Premier League in 2003–04 without losing a single match, an achievement which earned the side the nickname "The Invincibles". The feat came within a run of 49 league matches unbeaten from 7 May 2003 to 24 October 2004, a national record.
Arsenal finished in either first or second place in the league in eight of Wenger's first eleven seasons at the club, although on no occasion was they able to retain the title. As of July 2013, they were one of only five teams, the others being Manchester United, Blackburn Rovers, Chelsea, and Manchester City, to have won the Premier League since its formation in 1992. Arsenal had never progressed beyond the quarter-finals of the Champions League until 2005–06; in that season they became the first club from London in the competition's fifty-year history to reach the final, in which they were beaten 2–1 by Barcelona. In July 2006, they moved into the Emirates Stadium, after 93 years at Highbury.
Arsenal reached the final of the 2007 and 2011 League Cups, losing 2–1 to Chelsea and Birmingham City respectively. The club had not gained a major trophy since the 2005 FA Cup until 17 May 2014, when Arsenal beat Hull City in the 2014 FA Cup Final, coming back from a 2–0 deficit to win the match 3–2. This qualified them for the 2014 FA Community Shield where they would play Premier League champions Manchester City. They recorded a resounding 3–0 win in the game, winning their second trophy in three months.[30]



Arsenal's finishing positions since 1947 (in red). The number of teams in the top flight is shown in blue.

Crest



Arsenal's first crest from 1888
Unveiled in 1888, Royal Arsenal's first crest featured three cannon viewed from above, pointing northwards, similar to the coat of arms of the Metropolitan Borough of Woolwich. These can sometimes be mistaken for chimneys, but the presence of a carved lion's head and a cascabel on each are clear indicators that they are cannon. This was dropped after the move to Highbury in 1913, only to be reinstated in 1922, when the club adopted a crest featuring a single cannon, pointing eastwards, with the club's nickname, The Gunners, inscribed alongside it; this crest only lasted until 1925, when the cannon was reversed to point westward and its barrel slimmed down.
In 1949, the club unveiled a modernised crest featuring the same style of cannon below the club's name, set in blackletter, and above the coat of arms of the Metropolitan Borough of Islington and a scroll inscribed with the club's newly adopted Latin motto, Victoria Concordia Crescit "victory comes from harmony", coined by the club's programme editor Harry Homer. For the first time, the crest was rendered in colour, which varied slightly over the crest's lifespan, finally becoming red, gold and green. Because of the numerous revisions of the crest, Arsenal was unable to copyright it. Although the club had managed to register the crest as a trademark, and had fought (and eventually won) a long legal battle with a local street trader who sold "unofficial" Arsenal merchandise, Arsenal eventually sought a more comprehensive legal protection. Therefore, in 2002 they introduced a new crest featuring more modern curved lines and a simplified style, which was copyrightable. The cannon once again faces east and the club's name is written in a sans-serif typeface above the cannon. Green was replaced by dark blue. The new crest was criticised by some supporters; the Arsenal Independent Supporters' Association claimed that the club had ignored much of Arsenal's history and tradition with such a radical modern design, and that fans had not been properly consulted on the issue.
Until the 1960s, a badge was worn on the playing shirt only for high-profile matches such as FA Cup finals, usually in the form of a monogram of the club's initials in red on a white background.
The monogram theme was developed into an Art Deco-style badge on which the letters A and C framed a football rather than the letter F, the whole set within a hexagonal border. This early example of a corporate logo, introduced as part of Herbert Chapman's rebranding of the club in the 1930s, was used not only on Cup Final shirts but as a design feature throughout Highbury Stadium, including above the main entrance and inlaid in the floors. From 1967, a white cannon was regularly worn on the shirts, until replaced by the club crest, sometimes with the addition of the nickname "The Gunners", in the 1990s.
In the 2011–2012 season, Arsenal celebrated their 125th year anniversary. The celebrations included a modified version of the current crest worn on their jerseys for the season. The crest was all white, surrounded by 15 oak leaves to the right and 15 laurel leaves to the left. The oak leaves represent the 15 founding members of the club who met at the Royal Oak pub. The 15 laurel leaves represent the design detail on the six pence pieces paid by the founding fathers to establish the club. The laurel leaves also represent strength. To complete the crest, 1886 and 2011 are shown on either sides of the motto "Forward" at the bottom of the crest.

Colours

Dark red shirt, white shorts, socks with blue and white stripes

Arsenal's original home colours. The team wore a similar kit (but with redcurrant socks) during the 2005–06 season.
For much of Arsenal's history, their home colours have been bright red shirts with white sleeves and white shorts, though this has not always been the case. The choice of red is in recognition of a charitable donation from Nottingham Forest, soon after Arsenal's foundation in 1886. Two of Dial Square's founding members, Fred Beardsley and Morris Bates, were former Forest players who had moved to Woolwich for work. As they put together the first team in the area, no kit could be found, so Beardsley and Bates wrote home for help and received a set of kit and a ball. The shirt was redcurrant, a dark shade of red, and was worn with white shorts and socks with blue and white hoops.
In 1933, Herbert Chapman, wanting his players to be more distinctly dressed, updated the kit, adding white sleeves and changing the shade to a brighter pillar box red. Two possibilities have been suggested for the origin of the white sleeves. One story reports that Chapman noticed a supporter in the stands wearing a red sleeveless sweater over a white shirt; another was that he was inspired by a similar outfit worn by the cartoonist Tom Webster, with whom Chapman played golf. Regardless of which story is true, the red and white shirts have come to define Arsenal and the team have worn the combination ever since, aside from two seasons. The first was 1966–67, when Arsenal wore all-red shirts; this proved unpopular and the white sleeves returned the following season. The second was 2005–06, the last season that Arsenal played at Highbury, when the team wore commemorative redcurrant shirts similar to those worn in 1913, their first season in the stadium; the club reverted to their normal colours at the start of the next season. In the 2008–09 season, Arsenal replaced the traditional all-white sleeves with red sleeves with a broad white stripe.
Arsenal's home colours have been the inspiration for at least three other clubs. In 1909, Sparta Prague adopted a dark red kit like the one Arsenal wore at the time; in 1938, Hibernian adopted the design of the Arsenal shirt sleeves in their own green and white strip. In 1920, Sporting Clube de Braga's manager returned from a game at Highbury and changed his team's green kit to a duplicate of Arsenal's red with white sleeves and shorts, giving rise to the team's nickname of Os Arsenalistas. These teams still wear those designs to this day.
For many years Arsenal's away colours were white shirts and either black or white shorts. In the 1969–70 season, Arsenal introduced an away kit of yellow shirts with blue shorts. This kit was worn in the 1971 FA Cup Final as Arsenal beat Liverpool to secure the double for the first time in their history.Arsenal reached the FA Cup final again the following year wearing the red and white home strip and were beaten by Leeds United. Arsenal then competed in three consecutive FA Cup finals between 1978 and 1980 wearing their "lucky" yellow and blue strip, which remained the club's away strip until the release of a green and navy away kit in 1982–83. The following season, Arsenal returned to the yellow and blue scheme, albeit with a darker shade of blue than before.
When Nike took over from Adidas as Arsenal's kit provider in 1994, Arsenal's away colours were again changed to two-tone blue shirts and shorts. Since the advent of the lucrative replica kit market, the away kits have been changed regularly, with Arsenal usually releasing both away and third choice kits. During this period the designs have been either all blue designs, or variations on the traditional yellow and blue, such as the metallic gold and navy strip used in the 2001–02 season, the yellow and dark grey used from 2005 to 2007, and the yellow and maroon of 2010 to 2013. As of 2009, the away kit is changed every season, and the outgoing away kit becomes the third-choice kit if a new home kit is being introduced in the same year.


Kit manufacturers and shirt sponsors


Arsenal's shirts have been made by manufacturers including Bukta (from the 1930s until the early 1970s), Umbro (from the 1970s until 1986), Adidas (1986–1994), Nike (1994–2014), and Puma (from 2014). Like those of most other major football clubs, Arsenal's shirts have featured sponsors' logos since the 1980s; sponsors include JVC (1982–1999), Sega (1999–2002), O2 (2002–2006), and Emirates (from 2006).

Stadiums

Main article: Emirates Stadium

A grandstand at a sports stadium. The seats are predominantly red.

The North Bank Stand, Arsenal Stadium, Highbury
For most of their time in south-east London, Arsenal played at the Manor Ground in Plumstead, apart from a three-year period at the nearby Invicta Ground between 1890 and 1893. The Manor Ground was initially just a field, until the club installed stands and terracing for their first Football League match in September 1893. They played their home games there for the next twenty years (with two exceptions in the 1894–95 season), until the move to north London in 1913.
Widely referred to as Highbury, Arsenal Stadium was the club's home from September 1913 until May 2006. The original stadium was designed by the renowned football architect Archibald Leitch, and had a design common to many football grounds in the UK at the time, with a single covered stand and three open-air banks of terracing.The entire stadium was given a massive overhaul in the 1930s: new Art Deco West and East stands were constructed, opening in 1932 and 1936 respectively, and a roof was added to the North Bank terrace, which was bombed during the Second World War and not restored until 1954.
Highbury could hold more than 60,000 spectators at its peak, and had a capacity of 57,000 until the early 1990s. The Taylor Report and Premier League regulations obliged Arsenal to convert Highbury to an all-seater stadium in time for the 1993–94 season, thus reducing the capacity to 38,419 seated spectators. This capacity had to be reduced further during Champions League matches to accommodate additional advertising boards, so much so that for two seasons, from 1998 to 2000, Arsenal played Champions League home matches at Wembley, which could house more than 70,000 spectators.

An interior view of a football stadium. There are no players on the pitch but there are spectators in the stands.

The Emirates Stadium filling up on the day of Dennis Bergkamp's testimonial
Expansion of Highbury was restricted because the East Stand had been designated as a Grade II listed building and the other three stands were close to residential properties. These limitations prevented the club from maximising matchday revenue during the 1990s and first decade of the 21st century, putting them in danger of being left behind in the football boom of that time. After considering various options, in 2000 Arsenal proposed building a new 60,361-capacity stadium at Ashburton Grove, since named the Emirates Stadium, about 500 metres south-west of Highbury. The project was initially delayed by red tape and rising costs,and construction was completed in July 2006, in time for the start of the 2006–07 season.The stadium was named after its sponsors, the airline company Emirates, with whom the club signed the largest sponsorship deal in English football history, worth around £100 million; some fans referred to the ground as Ashburton Grove, or the Grove, as they did not agree with corporate sponsorship of stadium names. The stadium will be officially known as Emirates Stadium until at least 2028, and the airline will be the club's shirt sponsor until the end of the 2018–19 season. From the start of the 2010–11 season on, the stands of the stadium have been officially known as North Bank, East Stand, West Stand and Clock end.
Arsenal's players train at the Shenley Training Centre in Hertfordshire, a purpose-built facility which opened in 1999. Before that the club used facilities on a nearby site owned by the University College of London Students' Union. Until 1961 they had trained at Highbury. Arsenal's Academy under-18 teams play their home matches at Shenley, while the reserves play their games at Meadow Park which is also the home of Boreham Wood F.C..

Supporters

For more details on this topic, see Arsenal F.C. supporters.


Arsenal against rivals Tottenham, known as the North London derby, in November 2010.
Arsenal fans often refer to themselves as "Gooners", the name derived from the team's nickname, "The Gunners". The fanbase is large and generally loyal, and virtually all home matches sell out; in 2007–08 Arsenal had the second-highest average League attendance for an English club (60,070, which was 99.5% of available capacity), and as of 2006, the fourth-highest all-time average attendance. Arsenal have the seventh highest average attendance of European football clubs only behind Borussia Dortmund, FC Barcelona, Manchester United, Real Madrid, Bayern Munich, and Schalke.[65][66][67][68] The club's location, adjoining wealthy areas such as Canonbury and Barnsbury, mixed areas such as Islington, Holloway, Highbury, and the adjacent London Borough of Camden, and largely working-class areas such as Finsbury Park and Stoke Newington, has meant that Arsenal's supporters have come from a variety of social classes.
Like all major English football clubs, Arsenal have a number of domestic supporters' clubs, including the Arsenal Football Supporters' Club, which works closely with the club, and the Arsenal Independent Supporters' Association, which maintains a more independent line. The Arsenal Supporters' Trust promotes greater participation in ownership of the club by fans. The club's supporters also publish fanzines such as The Gooner, Gunflash and the satirical Up The Arse!. In addition to the usual English football chants, supporters sing "One-Nil to the Arsenal" (to the tune of "Go West") and "Boring, Boring Arsenal", which used to be a common taunt from opposition fans but is now sung ironically by Arsenal supporters when the team is playing well.
There have always been Arsenal supporters outside of London, and since the advent of satellite television, a supporter's attachment to a football club has become less dependent on geography. Consequently, Arsenal have a significant number of fans from beyond London and all over the world; in 2007, 24 UK, 37 Irish and 49 other overseas supporters clubs were affiliated with the club. A 2005 report by Granada Ventures, which at the time owned a 9.9% stake in the club, estimated Arsenal's global fanbase at 27 million.
Arsenal's longest-running and deepest rivalry is with their nearest major neighbours, Tottenham Hotspur; matches between the two are referred to as North London derbies. Other rivalries within London include those with Chelsea, Fulham and West Ham United. In addition, Arsenal and Manchester United developed a strong on-pitch rivalry in the late 1980s, which intensified in recent years when both clubs were competing for the Premier League title – so much so that a 2003 online poll by the Football Fans Census listed Manchester United as Arsenal's biggest rivals, followed by Tottenham and Chelsea. A 2008 poll listed the Tottenham rivalry as more important.

Ownership and finances

For more details on this topic, see Ownership of Arsenal F.C..
Arsenal's parent company, Arsenal Holdings plc, operates as a non-quoted public limited company, whose ownership is considerably different from that of other football clubs. Only 62,217 shares in Arsenal have been issued, and they are not traded on a public exchange such as the FTSE or AIM; instead, they are traded relatively infrequently on the ICAP Securities and Derivatives Exchange, a specialist market. On 6 November 2014, a single share in Arsenal had a mid price of £1,450,000, which set the club's market capitalisation value at approximately £902.2m. The club made a pre-tax operating profit (excluding player transfers) of £62.7m in the year ending 31 May 2009, from a turnover of £313.3m.
The largest shareholder on the Arsenal board is American sports tycoon Stan Kroenke, who launched a bid for the club in 2007, and in November 2009 increased his holding to 18,594 shares (29.9%).
A rival bid to Kroenke's came from Red & White Securities, which is co-owned by Russian billionaire Alisher Usmanov and Iranian London-based financier Farhad Moshiri.Red & White launched its bid in August 2007, buying the stake held by former Arsenal vice-chairman David Dein, and as of February 2009 owned 15,555 shares (25.0%) in the club. This led to press speculation of a bidding war between Kroenke and Usmanov. However, Kroenke agreed not to purchase more than 29.9% of the club until at least September 2009, while the rest of the board have first option on each other's shares until October 2012.
As of October 2011, Kroenke owns 41,574 shares (66.82%) and Red & White Securities own 18,261 shares (29.35%). Under company law Kroenke, as majority shareholder, is obliged to make an offer for the remaining shares in the club.
Ivan Gazidis has been the club's Chief Executive since 2009.